Tuesday, 19 May 2015

Membunuh Waktu, Sebuah Lagu Sederhana yang Saya Tulis untuk Ibu

Dalam satu-dua tahun belakangan ini saya terlarut merenungi diri saya sendiri, merenung tentang apa yang telah saya capai, merenung tentang apa yang telah saya dapatkan hingga usia saya yang boleh dibilang tak muda lagi ini. Dalam perenungan itu, kadang saya bersuka cita karena mendapatkan sesuatu yang saya impikan sejak kecil dulu, namun kadang juga bersedih lantaran apa yang telah saya targetkan sejak belasan tahun lalu tak kunjung terwujud juga. Bahkan saya sempat durhaka kepada dunia, karena berfikir bahwa hidup ini tak adil.

Di tengah kesibukan berdebat dengan diri saya sendiri perihal adil tidaknya dunia ini, saya terlupa bahwa ada yang lebih penting dari itu semua. Bahwa setiap manusia dilahirkan sekarat dalam cengkraman waktu yang semakin erat, termasuk ibu saya, orang paling penting dalam hidup saya. Saya sedih melihat waktu berjalan di sisi ibu, waktu tak pernah berkompromi kepada siapa saja yang ada dalam jeratannya, dengan mudahnya waktu akan mengubah orang menjadi tua. Jujur, saya seakan tidak ikhlas melihat ibu bertambah tua dalam beberapa tahun ke depan.
Bagaimana saya baru menyadari hal itu, kemana saja saya selama ini! Saya terlalu naif, melihat ibu selamanya akan seperti itu, ibu yang selalu penuh semangat dalam mendidik anaknya, ibu yang tak kenal lelah bekerja demi anak-anaknya. Saya malu, sebagai orang yang mengaku anggota sekte pemuja ibu garis keras, namun baru sadar bahwa seiring saya bertambah dewasa ibu juga akan bertambah tua. Saya malah sibuk memikirkan apa yang sudah saya raih, lupa tentang apa yang sudah saya siapkan untuk ibu menghadapi sang waktu yang mendekapnya.

Jarum jam terus berdetak, seakan menegaskan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Bila saya bisa memahami betul hal tersebut, harusnya saya tak sedih lagi. Tapi apa daya, mungkin saya adalah makhluk yang tak pandai bersyukur. Beberapa tahun lalu, saya berdoa agar ibu selalu diberikan kesehatan, doa itu saya yakini dikabulkan. Namun sekarang, saya malah minta ibu diberikan panjang usia hingga 1000 tahun lagi. Bahkan dalam hati berusaha menantang waktu yang bersama ibu, berusaha membunuhnya bila saja bisa.

Benar, meyakini ‘tak ada yang abadi di dunia ini’ tak bisa membuat saya tenang, saya masih tak rela ibu menjadi tua dalam dekapan waktunya. Namun saya mulai berasa nyaman saat saat saya menyadari bahwa setiap detik itu berarti! setiap menit itu berharga, setiap jam-jam yang berlalu bisa saya isi dengan sikap atau tindakan positif yang membuat ibu saya bahagia dalam hidupnya, tak perlu merasa khawatir berlebihan menyambut hari tua pada wanita hebat yang telah melahirkan saya itu.
Saya tak perlu berangan-angan lagi untuk membunuh waktu hingga ibu bisa berdiri 1000 tahun lagii. Iya, saya tidak perlu! Waktu boleh saja membawa ibuku pergi pada 20, 30 atau, 40 tahun lagi. Namun satu yang tak akan bisa direnggut oleh sang waktu, yaitu kasih dan cinta Ibu. Kasih Ibu itu abadi, cinta ibulah yang telah membuat dunia saya hangat selama ini, dan kehangatan itu saya yakini betul tak akan pernah sirna. Keinginan saya untuk melihat ibu berdiri 1000 tahun bukan sekedar mimpi, ibu akan selau berdiri dalam bentuk kasih dan cintanya yang hangat.

Hal lain yang tak kalah penting, telah banyak saya dapati orang-orang hebat yang tetap bisa menikmati dan mensyukuri hidupnya meski waktu telah mengambil ibunya. Sial!, mereka rupanya telah mendahului saya dalam memahami  kasih dan cinta ibu yang abadi. Doa ibu akan selalu menyertai kalian wahai anak-anak yang dikasihi dan dicintai ibunya!,  Selamat hari Ibu!
Ibu, Aku menulis lagu ini untukmu!
sumber: 
http://www.yosbeda.com/membunuh-waktu-sebuah-lagu-sederhana-yang-saya-tulis-untuk-ibu-4847/

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © . Dave's Note | Sharing is Loving - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger