Dalam satu-dua tahun belakangan ini saya
terlarut merenungi diri saya sendiri, merenung tentang apa yang telah
saya capai, merenung tentang apa yang telah saya dapatkan hingga usia
saya yang boleh dibilang tak muda lagi ini. Dalam perenungan itu, kadang
saya bersuka cita karena mendapatkan sesuatu yang saya impikan sejak
kecil dulu, namun kadang juga bersedih lantaran apa yang telah saya
targetkan sejak belasan tahun lalu tak kunjung terwujud juga. Bahkan
saya sempat durhaka kepada dunia, karena berfikir bahwa hidup ini tak
adil.
Di tengah kesibukan berdebat dengan diri
saya sendiri perihal adil tidaknya dunia ini, saya terlupa bahwa ada
yang lebih penting dari itu semua. Bahwa setiap manusia dilahirkan
sekarat dalam cengkraman waktu yang semakin erat, termasuk ibu saya,
orang paling penting dalam hidup saya. Saya sedih melihat waktu berjalan
di sisi ibu, waktu tak pernah berkompromi kepada siapa saja yang ada
dalam jeratannya, dengan mudahnya waktu akan mengubah orang menjadi tua.
Jujur, saya seakan tidak ikhlas melihat ibu bertambah tua dalam
beberapa tahun ke depan.
Bagaimana saya baru menyadari hal itu,
kemana saja saya selama ini! Saya terlalu naif, melihat ibu selamanya
akan seperti itu, ibu yang selalu penuh semangat dalam mendidik anaknya,
ibu yang tak kenal lelah bekerja demi anak-anaknya. Saya malu, sebagai
orang yang mengaku anggota sekte pemuja ibu garis keras, namun baru
sadar bahwa seiring saya bertambah dewasa ibu juga akan bertambah tua.
Saya malah sibuk memikirkan apa yang sudah saya raih, lupa tentang apa
yang sudah saya siapkan untuk ibu menghadapi sang waktu
yang mendekapnya.
Jarum jam terus berdetak, seakan
menegaskan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Bila saya bisa
memahami betul hal tersebut, harusnya saya tak sedih lagi. Tapi apa
daya, mungkin saya adalah makhluk yang tak pandai bersyukur. Beberapa
tahun lalu, saya berdoa agar ibu selalu diberikan kesehatan, doa itu
saya yakini dikabulkan. Namun sekarang, saya malah minta ibu diberikan
panjang usia hingga 1000 tahun lagi. Bahkan dalam hati berusaha
menantang waktu yang bersama ibu, berusaha membunuhnya bila saja bisa.
Benar, meyakini ‘tak ada yang abadi di
dunia ini’ tak bisa membuat saya tenang, saya masih tak rela ibu menjadi
tua dalam dekapan waktunya. Namun saya mulai berasa nyaman saat saat
saya menyadari bahwa setiap detik itu berarti! setiap menit itu
berharga, setiap jam-jam yang berlalu bisa saya isi dengan sikap atau
tindakan positif yang membuat ibu saya bahagia dalam hidupnya, tak perlu
merasa khawatir berlebihan menyambut hari tua pada wanita hebat yang
telah melahirkan saya itu.
Saya tak perlu berangan-angan lagi untuk
membunuh waktu hingga ibu bisa berdiri 1000 tahun lagii.
Iya, saya tidak perlu! Waktu boleh saja membawa ibuku pergi pada 20, 30
atau, 40 tahun lagi. Namun satu yang tak akan bisa direnggut oleh sang
waktu, yaitu kasih dan cinta Ibu. Kasih Ibu itu abadi, cinta ibulah yang
telah membuat dunia saya hangat selama ini, dan kehangatan itu saya
yakini betul tak akan pernah sirna. Keinginan saya untuk melihat ibu
berdiri 1000 tahun bukan sekedar mimpi, ibu akan selau berdiri dalam
bentuk kasih dan cintanya yang hangat.
Hal lain yang tak kalah penting, telah
banyak saya dapati orang-orang hebat yang tetap bisa menikmati dan
mensyukuri hidupnya meski waktu telah mengambil ibunya. Sial!, mereka
rupanya telah mendahului saya dalam memahami kasih dan cinta ibu yang
abadi. Doa ibu akan selalu menyertai kalian wahai anak-anak yang
dikasihi dan dicintai ibunya!, Selamat hari Ibu!
0 comments:
Post a Comment